Chapter 2
"Godaan yang Tak Terduga"
Clara duduk di meja yang sama di kafe, mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus mengembara, memikirkan Dimas dan percakapan menarik mereka beberapa hari yang lalu. Saat dia sedang sibuk dengan laptopnya, suara yang dikenal memanggilnya.
"Hai, Clara. Senang bertemu lagi," kata Dimas sambil tersenyum lebar. Clara terkejut melihat pria misterius itu berdiri di depannya dengan senyuman ramah.
"Oh, hai, Dimas," jawab Clara gugup. "Iya, senang bertemu lagi."
Dimas duduk di hadapannya dan mulai berbicara tentang proyek fotografinya yang baru. Percakapan mereka pun mengalir begitu saja, dan Clara merasa semakin nyaman bersama Dimas. Ada sesuatu dalam caranya berbicara dan tersenyum yang membuat Clara merasa diterima dan dihargai.
Seiring waktu, mereka semakin sering bertemu di kafe. Hubungan mereka berkembang menjadi pertemanan yang akrab. Namun, Clara tidak bisa menahan perasaan yang semakin kuat terhadap Dimas. Setiap kali mereka bersama, ada perasaan yang tumbuh di hatinya, perasaan yang tidak seharusnya ada.
Suatu hari, Dimas mengajaknya untuk melihat beberapa foto hasil jepretannya di apartemennya yang tidak jauh dari kafe. Clara ragu sejenak, tetapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Mereka berjalan bersama menuju apartemen Dimas.
Saat mereka sampai di apartemen Dimas, Clara merasa canggung, namun Dimas membuatnya merasa nyaman. Dia menunjukkan foto-foto indah dari perjalanannya, dan Clara terkesan dengan keahlian dan bakatnya. Obrolan mereka semakin dalam dan pribadi. Tanpa disadari, Clara mulai membuka diri tentang kehidupannya, tunangannya, dan perasaan campur aduk yang dia rasakan belakangan ini.
"Kadang-kadang, hidup memberikan kita kejutan yang tak terduga," kata Dimas sambil menatap mata Clara dalam-dalam. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Clara merasa lemah.
Malam itu, Clara pulang dengan perasaan campur aduk. Dia merasa bersalah karena menghabiskan waktu bersama Dimas, tetapi di sisi lain, ada perasaan bahagia yang tak bisa dia jelaskan. Perasaan bersalah ini semakin mendalam ketika dia bertemu dengan Andi yang menunggunya di rumah dengan makan malam romantis yang sudah disiapkan.
"Andi, kamu benar-benar luar biasa," kata Clara dengan senyum penuh rasa bersalah. Andi memeluknya dengan hangat dan berkata, "Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Clara."
Clara mencoba menikmati makan malam bersama Andi, tetapi pikirannya terus kembali kepada Dimas. Malam itu, setelah Andi tertidur, Clara berbaring di tempat tidurnya dan memikirkan perasaannya yang semakin rumit. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Dimas adalah sesuatu yang berbahaya dan bisa menghancurkan semuanya, tetapi dia tidak bisa mengabaikan apa yang dirasakannya.
Hari-hari berikutnya, Clara mencoba menjauh dari Dimas. Dia fokus pada persiapan pernikahannya dengan Andi dan mencoba menghindari kafe tempat dia biasa bertemu dengan Dimas. Namun, suatu sore, ketika dia sedang berjalan pulang dari kantor, dia melihat Dimas berdiri di depan pintu apartemennya.
"Dimas, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Clara dengan suara bergetar.
"Aku harus bicara denganmu, Clara," jawab Dimas serius. "Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu."
"Apa yang kamu harapkan dari ini, Dimas?" tanya Clara dengan suara pelan. "Aku bertunangan dengan Andi, dan pernikahan kami sudah dekat."
"Aku tahu, Clara," jawab Dimas dengan tatapan yang penuh kesungguhan. "Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasakan apa-apa padamu. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku."
Clara merasa terombang-ambing. Di satu sisi, dia ingin menjaga jarak dan mempertahankan hubungan baik dengan Andi. Di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan ketertarikannya pada Dimas. "Aku juga bingung, Dimas," kata Clara akhirnya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Dimas mendekat, mengambil tangan Clara dalam genggamannya. "Tidak ada tekanan, Clara. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku dan memikirkan apa yang kamu benar-benar inginkan."
Clara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. "Aku perlu waktu untuk memikirkannya," katanya sambil melepaskan tangannya dari genggaman Dimas. "Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang."
Dimas mengangguk pelan. "Aku mengerti, Clara. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu."
Malam itu, Clara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar antara Andi dan Dimas. Dia tahu bahwa dia harus jujur pada dirinya sendiri dan pada Andi, tetapi dia takut akan konsekuensi dari kejujuran itu.
Keesokan harinya, Clara bertemu dengan sahabatnya, Maya, untuk curhat. Mereka duduk di sebuah taman yang tenang, dan Clara menceritakan semua yang terjadi.
"Maya, aku tidak tahu harus berbuat apa," kata Clara dengan putus asa. "Aku mencintai Andi, tapi aku juga tertarik pada Dimas."
Maya mendengarkan dengan seksama sebelum akhirnya berbicara. "Clara, kamu harus jujur pada diri sendiri dan pada Andi. Kalau kamu benar-benar mencintai Andi, kamu harus mengatasi perasaanmu pada Dimas. Tapi kalau perasaanmu pada Dimas terlalu kuat untuk diabaikan, mungkin kamu perlu mempertimbangkan kembali hubunganmu dengan Andi."
Clara tahu bahwa Maya benar, tetapi itu tidak membuat keputusan menjadi lebih mudah. Dia merasa terjebak dalam dilema yang tidak ada jalan keluarnya.
Hari-hari berikutnya, Clara mencoba untuk fokus pada pekerjaannya dan persiapan pernikahan. Namun, pikirannya terus diganggu oleh Dimas. Setiap kali dia melihat Andi, perasaan bersalah semakin menghantui hatinya.
Suatu malam, setelah makan malam yang hening dengan Andi, Clara memutuskan untuk jujur pada tunangannya. "Andi, kita perlu bicara," kata Clara dengan suara pelan.
Andi menatapnya dengan cemas. "Ada apa, Clara?"
Clara menghela napas panjang. "Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu. Aku telah bertemu dengan seseorang yang membuatku bingung. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku merasa harus jujur."
Andi terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Siapa orang itu?"
"Namanya Dimas. Dia seorang fotografer yang aku temui di kafe. Kami sering berbicara dan aku merasa tertarik padanya," Clara menjelaskan dengan suara gemetar.
Andi mengangguk pelan, matanya penuh dengan kekecewaan. "Aku menghargai kejujuranmu, Clara. Tapi ini sangat sulit untuk diterima. Aku mencintaimu dan aku ingin kita bersama, tapi aku tidak bisa bersaing dengan seseorang yang baru saja kamu temui."
Clara merasa air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku juga mencintaimu, Andi. Aku hanya butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
Andi menghela napas dan meraih tangan Clara. "Aku mengerti, Clara. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Aku akan tetap di sini, menunggumu."
Clara merasa hatinya hancur melihat rasa sakit di mata Andi. Dia tahu bahwa apapun keputusannya, itu akan menyakiti seseorang yang dia pedulikan. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan dan kebingungan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Clara. Dia mencoba menghindari Dimas dan fokus pada perasaannya sendiri. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan yang sulit, tetapi dia belum siap untuk melakukannya.
Suatu sore, Clara menerima pesan dari Dimas. "Aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita berbicara?"
Clara ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Baiklah, di kafe biasa?"
Dimas mengiyakan dan mereka pun bertemu di kafe tempat mereka pertama kali berbincang. Clara merasa gugup, tetapi dia tahu bahwa pertemuan ini penting.
"Clara, aku tidak ingin membuat semuanya lebih sulit," kata Dimas saat mereka duduk bersama. "Tapi aku merasa kita perlu bicara secara jujur."
Clara mengangguk. "Aku tahu, Dimas. Aku juga merasa seperti itu."
Dimas menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi. "Aku tahu bahwa kamu sedang dalam hubungan yang serius dengan Andi. Dan aku tidak ingin merusak itu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu."
Clara merasa hatinya sakit mendengar kata-kata Dimas. "Aku juga bingung, Dimas. Aku mencintai Andi, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu."
Dimas menatap mata Clara dalam-dalam. "Apa yang kamu inginkan, Clara? Apakah kamu ingin melanjutkan dengan Andi atau apakah kamu ingin mengambil kesempatan dengan kita?"
Clara terdiam, merasa beban keputusan itu semakin berat di pundaknya. Dia tahu bahwa apapun yang dia pilih, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus membuat keputusan, demi dirinya sendiri dan orang-orang yang dia cintai.