Notifikasi

Loading…

Cinta dalam Bayang-bayang

 

Seorang wanita bernama Clara menemukan dirinya terjebak dalam cinta terlarang dengan pria yang sudah menikah, Arga. Di tengah perasaan bahagia yang mereka rasakan, keduanya harus menghadapi berbagai konflik, kecurigaan, dan ketegangan yang mengancam kebahagiaan mereka. Cerita ini mengikuti perjalanan Clara dan Arga melalui lika-liku hubungan mereka, diwarnai oleh momen-momen penuh haru, kebahagiaan, dan perjuangan berat.

Nama Tokoh Utama:

  • Clara
  • Arga

Bab 1: Awal dari Segalanya

Clara duduk di sudut kafe favoritnya, memandangi layar laptop yang penuh dengan angka-angka penjualan. Ia bekerja sebagai analis keuangan di sebuah perusahaan besar di Jakarta, dan meskipun pekerjaannya menuntut banyak waktu dan perhatian, ia merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Sore itu, kafe cukup sepi, dan alunan musik jazz yang lembut membuatnya sedikit lebih santai.

Di meja sebelah, seorang pria dengan setelan rapi tampak sibuk dengan teleponnya. Clara memperhatikannya sekilas, mengenali wajahnya yang sering ia lihat di kantor. Itu Arga, seorang manajer proyek yang sering berinteraksi dengan departemennya. Mereka belum pernah berbicara secara langsung, namun Clara tahu bahwa Arga adalah pria yang cukup populer di kantor, bukan hanya karena ketampanannya tetapi juga karena keahliannya dalam memimpin tim.

Seiring berjalannya waktu, Clara kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut menyapanya, "Hai, Clara, bukan? Aku Arga, kita sering bertemu di kantor." Clara mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Oh, ya. Halo, Arga. Apa kabar?" jawabnya ramah.

Mereka pun mulai berbincang, awalnya tentang pekerjaan, namun kemudian topik pembicaraan melebar ke hal-hal pribadi. Arga ternyata seorang pria yang menyenangkan dan mudah diajak bicara. Clara merasa nyaman, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Mereka menghabiskan waktu di kafe itu hingga larut malam, tak menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Setelah pertemuan itu, Clara dan Arga semakin sering berkomunikasi. Mereka saling bertukar pesan, makan siang bersama, dan sesekali menghabiskan waktu setelah jam kerja di kafe yang sama. Clara tahu bahwa Arga sudah menikah, namun ia merasa ada ketertarikan yang kuat di antara mereka.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman kota, Arga tiba-tiba menggenggam tangan Clara. "Clara, aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu. Aku jatuh cinta padamu," kata Arga dengan suara pelan namun tegas. Clara terdiam, hatinya berdebar kencang. Ia juga merasakan hal yang sama, namun keraguan dan rasa bersalah menyelimuti pikirannya.

"Mungkin kita harus berhenti bertemu," ujar Clara, meski hatinya menolak. Arga menatapnya dalam-dalam, "Aku mengerti, tapi tolong, berikan aku waktu untuk menyelesaikan semuanya. Aku benar-benar mencintaimu, Clara." Mendengar kata-kata itu, Clara merasa hatinya meleleh. Ia tahu bahwa cinta ini tidak seharusnya ada, tapi perasaannya terhadap Arga terlalu kuat untuk diabaikan.

Malam itu, mereka memutuskan untuk tetap bersama meski dengan segala risiko yang ada. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, namun keduanya siap menghadapi segalanya demi cinta yang mereka rasakan.


Malam semakin larut ketika Clara tiba di apartemennya. Ia duduk di sofa, memikirkan perasaannya yang campur aduk. Sebuah pesan dari Arga masuk ke ponselnya, "Selamat malam, Clara. Aku sangat bersyukur memilikimu dalam hidupku. Tidurlah yang nyenyak." Clara tersenyum membaca pesan itu. Meski hati kecilnya meragukan keputusannya, ia merasa bahagia bisa bersama Arga.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Clara dan Arga semakin sering bertemu, dan perasaan mereka semakin dalam. Namun, hubungan mereka tidak selalu mulus. Kecurigaan dan rasa bersalah sering menghantui Clara, terutama ketika ia melihat Arga bersama istrinya di acara kantor. Arga selalu meyakinkan Clara bahwa ia akan segera menyelesaikan masalah ini, namun Clara tahu bahwa hal itu tidak semudah yang dibayangkan.

Suatu hari, saat mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran kecil, Arga menerima panggilan dari istrinya. Clara bisa melihat wajah Arga yang berubah cemas. "Maaf, Clara, aku harus pergi. Ada masalah di rumah," kata Arga buru-buru. Clara hanya bisa mengangguk, mencoba memahami situasinya. Namun, setelah Arga pergi, ia merasa kosong dan cemas. Apakah hubungan ini benar-benar bisa bertahan?

Konflik demi konflik terus muncul. Clara merasa bersalah karena terlibat dalam kehidupan rumah tangga orang lain, sementara Arga berusaha keras menjaga hubungan mereka tetap berjalan. Meskipun demikian, cinta mereka tetap bertahan, seperti api yang terus menyala meski diterpa angin kencang.

Satu malam, saat Clara sedang duduk di balkon apartemennya, Arga datang dengan wajah lelah. "Aku sudah memberitahu istriku tentang kita," kata Arga dengan suara serak. Clara terkejut, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. "Dan bagaimana reaksinya?" tanya Clara dengan suara gemetar. Arga menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Dia sangat marah dan kecewa, tapi aku tidak bisa terus berbohong padanya. Aku mencintaimu, Clara."

Mendengar kata-kata itu, Clara merasa lega namun juga takut. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan, namun cinta mereka memberikan kekuatan untuk menghadapi semuanya.

Bab 2: Bayang-bayang Kecurigaan

Minggu-minggu berlalu setelah pengakuan Arga kepada istrinya. Clara merasa ada beban berat yang menggantung di antara mereka, meskipun Arga berusaha sebisa mungkin untuk tetap membuatnya merasa aman dan dicintai. Pertemuan mereka semakin jarang dan dibatasi oleh berbagai alasan. Arga sering terlihat lelah dan tertekan, namun selalu mencoba menyembunyikannya di depan Clara.

Sementara itu, di kantor, Clara merasakan tatapan tajam dari beberapa rekan kerja. Desas-desus tentang hubungan gelap mereka tampaknya mulai menyebar. Clara mencoba mengabaikan bisik-bisik di belakangnya, namun tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang terus mengikutinya. Suatu hari, Clara menerima pesan anonim yang hanya berisi satu kalimat: "Apa kamu tahu siapa yang kamu sakiti?"

Clara tertegun membaca pesan itu. Siapa yang mengirimnya? Apakah istrinya Arga sudah mulai curiga? Atau mungkin salah satu rekan kerja mereka yang mengetahui hubungan mereka? Clara mencoba untuk tetap tenang, namun rasa takut dan kecurigaan mulai merayapi pikirannya.

Di sisi lain, Arga juga merasakan tekanan yang luar biasa. Istrinya, Rina, mulai menunjukkan perubahan sikap yang drastis. Rina menjadi lebih dingin dan sering mengabaikan Arga. Rumah yang dulunya penuh kehangatan kini terasa seperti medan perang dingin. Arga merasa bersalah, namun cintanya kepada Clara begitu kuat hingga ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa wanita itu.

Suatu malam, saat Clara sedang beristirahat setelah hari yang panjang di kantor, Arga datang ke apartemennya. Wajahnya terlihat lelah dan penuh kegalauan. "Clara, kita perlu bicara," katanya dengan suara berat. Clara merasa cemas mendengar nada suara Arga yang serius.

"Apa yang terjadi, Arga?" tanya Clara khawatir. Arga mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Rina mulai curiga. Dia tahu ada sesuatu yang salah, dan aku tidak bisa terus menyembunyikan ini darinya. Aku harus membuat keputusan segera."

Clara terdiam. Ia tahu bahwa keputusan ini akan sangat mempengaruhi hidup mereka berdua. "Apakah kamu yakin ingin melanjutkan ini, Arga? Aku tidak ingin menjadi penyebab kehancuran keluargamu," kata Clara dengan suara penuh emosi.

Arga menggenggam tangan Clara. "Aku mencintaimu, Clara. Tapi aku juga tidak ingin menyakiti Rina lebih jauh. Aku harus menemukan cara untuk menyelesaikan ini dengan cara yang paling baik untuk semua pihak."

Malam itu, mereka berbicara panjang lebar tentang masa depan mereka. Clara tahu bahwa mereka sedang berada di persimpangan jalan, dan keputusan yang mereka ambil akan menentukan arah hubungan mereka ke depan. Meski berat, Clara memutuskan untuk memberikan Arga ruang untuk menyelesaikan masalahnya dengan Rina.


Hari-hari berikutnya terasa panjang dan melelahkan. Clara dan Arga mulai jarang bertemu, hanya berkomunikasi melalui pesan singkat atau telepon. Clara merindukan kebersamaan mereka, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa menemukan jalan keluar dari situasi rumit ini.

Sementara itu, di rumah Arga, Rina semakin sering mempertanyakan keberadaan suaminya. Arga berusaha menjelaskan bahwa ia sibuk dengan pekerjaan, namun Rina tidak mudah percaya. Suatu hari, Rina memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Ia memeriksa ponsel Arga ketika suaminya sedang mandi, dan menemukan pesan-pesan antara Arga dan Clara. Rina merasa hatinya hancur berkeping-keping.

Rina memutuskan untuk menghadapi Arga secara langsung. Malam itu, setelah makan malam, ia menatap Arga dengan mata penuh amarah dan kesedihan. "Arga, aku tahu tentang Clara. Sejak kapan kamu mulai berselingkuh?" tanya Rina dengan suara bergetar. Arga terkejut dan merasa bersalah. Ia tahu bahwa saat ini tidak ada gunanya berbohong.

"Rina, aku minta maaf. Aku tahu ini salah, tapi perasaanku pada Clara begitu kuat. Aku tidak bisa mengabaikannya," jawab Arga dengan suara berat. Rina tidak bisa menahan tangisnya. "Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Kita sudah bersama begitu lama. Aku pikir kita punya keluarga yang bahagia."

Arga merasa hancur melihat Rina menangis. Ia tahu bahwa ia telah melukai wanita yang telah menemani hidupnya selama bertahun-tahun. Namun, ia juga tidak bisa membohongi perasaannya terhadap Clara. Malam itu, Arga dan Rina berbicara panjang lebar tentang perasaan mereka dan masa depan hubungan mereka. Rina merasa marah dan terluka, namun ia juga tidak ingin berpisah dengan Arga.


Di sisi lain, Clara merasa cemas menunggu kabar dari Arga. Ia tahu bahwa pembicaraan antara Arga dan Rina akan menentukan nasib hubungan mereka. Ketika akhirnya Arga menghubunginya, Clara merasa gugup namun juga lega. "Clara, aku sudah berbicara dengan Rina. Dia sangat marah dan kecewa, tapi dia juga ingin mencoba memperbaiki hubungan kami. Aku harus memberikan kesempatan ini pada pernikahan kami," kata Arga dengan suara pelan.

Clara merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Jadi, ini akhirnya? Kita harus berpisah?" tanya Clara dengan suara bergetar. Arga terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu, Clara. Aku ingin mencoba memperbaiki semuanya dengan Rina, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu. Mungkin kita perlu waktu untuk berpikir dan merenung."

Clara merasa kesedihan yang mendalam. Ia tahu bahwa keputusan ini sangat sulit bagi Arga, namun ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya. "Baiklah, Arga. Aku akan menghormati keputusanmu. Aku hanya berharap kita bisa menemukan jalan yang terbaik untuk semua pihak," kata Clara dengan suara penuh emosi.

Malam itu, Clara merasa kesepian dan hampa. Ia merenungkan semua yang telah terjadi dan menyadari bahwa cinta tidak selalu mudah. Terkadang, cinta harus melalui berbagai ujian dan pengorbanan. Clara tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya, namun hanya awal dari perjalanan yang panjang dan penuh liku.


Perjalanan cinta Clara dan Arga masih panjang dan penuh tantangan. Mereka harus menghadapi berbagai rintangan dan konflik yang akan menguji kekuatan cinta mereka. Di tengah kecurigaan, rasa bersalah, dan tekanan dari lingkungan sekitar, Clara dan Arga harus menemukan cara untuk menjaga cinta mereka tetap hidup.

Bab 3: Keputusan yang Menghantui

Seminggu telah berlalu sejak percakapan terakhir Clara dan Arga. Waktu yang berjalan terasa lambat bagi Clara, seakan-akan dunia berhenti berputar. Setiap hari ia menjalani rutinitas yang sama, bekerja dan pulang ke apartemen yang kosong. Perasaan sepi semakin menguasai dirinya. Clara sering terbangun tengah malam, menangis tanpa henti memikirkan Arga.

Di kantor, Clara mencoba sekuat tenaga untuk tetap profesional. Namun, tatapan rekan-rekannya terasa semakin menusuk. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa semua orang tahu tentang hubungannya dengan Arga. Setiap kali melihat Rina di kantor, Clara merasa bersalah dan malu. Namun, ia tetap berusaha menunjukkan sikap tenang dan tidak peduli.

Di sisi lain, Arga juga tidak merasa lebih baik. Rina menjadi semakin dingin dan sering menghindarinya. Rumah yang dulunya penuh kehangatan kini terasa seperti penjara. Arga sering merenung, bertanya-tanya apakah keputusan yang diambilnya benar. Cinta kepada Clara masih sangat kuat, namun tanggung jawabnya sebagai suami juga tidak bisa diabaikan.

Suatu hari, Clara menerima undangan dari rekan kerja untuk menghadiri pesta ulang tahun di sebuah bar. Clara ragu untuk pergi, namun ia tahu bahwa ia perlu keluar dan mencoba melupakan masalahnya sejenak. Malam itu, Clara berdandan rapi dan mengenakan gaun hitam yang elegan. Di bar, ia mencoba menikmati waktu dengan teman-temannya, tertawa dan bercanda, meski hatinya masih terasa hampa.

Di tengah pesta, Clara menerima pesan dari Arga: "Bisakah kita bertemu besok? Aku sangat merindukanmu." Clara merasa hatinya berdebar kencang. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan sangat penting bagi mereka berdua. Dengan perasaan campur aduk, Clara membalas pesan itu, "Baik, kita bisa bertemu di kafe biasa jam 7 malam."

Keesokan harinya, Clara merasa cemas sepanjang hari. Pikirannya terus-menerus memikirkan pertemuan dengan Arga. Akhirnya, saat jam menunjukkan pukul 7 malam, Clara tiba di kafe yang telah menjadi saksi bisu hubungan mereka. Arga sudah menunggu di sana, wajahnya terlihat lelah namun penuh harap.

"Clara, terima kasih sudah mau bertemu," kata Arga sambil menggenggam tangan Clara. Clara hanya tersenyum tipis, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Arga?" tanya Clara dengan suara pelan.

Arga mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Clara, aku merasa sangat tertekan dengan semua ini. Aku mencintaimu, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawabku kepada Rina. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia yang saling bertolak belakang."

Clara merasakan kesedihan yang mendalam. "Aku mengerti, Arga. Aku juga merasa seperti itu. Tapi kita harus menemukan jalan keluar dari situasi ini, meskipun itu berarti kita harus berpisah."

Mendengar kata-kata itu, Arga terdiam sejenak. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu, Clara. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Rina begitu saja. Aku benar-benar bingung."

Clara menatap Arga dengan mata penuh kasih. "Arga, mungkin kita butuh waktu untuk merenung dan menemukan apa yang benar-benar kita inginkan. Aku tidak ingin melihatmu menderita seperti ini."

Setelah pertemuan itu, Clara dan Arga memutuskan untuk memberikan jarak pada hubungan mereka. Mereka sepakat untuk tidak saling menghubungi selama beberapa waktu, memberikan diri mereka kesempatan untuk berpikir dan merenung. Clara merasa sedih, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang paling bijaksana.


Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Clara. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Namun, setiap malam, bayangan Arga selalu muncul dalam pikirannya. Clara merasa hampa tanpa kehadiran Arga dalam hidupnya.

Di sisi lain, Arga juga merasakan hal yang sama. Ia berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Rina, namun perasaan cintanya kepada Clara tidak bisa diabaikan. Arga merasa terjebak dalam dilema yang tidak berujung. Ia tahu bahwa keputusannya akan menentukan masa depan hidupnya, namun ia tidak tahu harus memilih yang mana.

Suatu malam, saat Clara sedang duduk di balkon apartemennya, ia menerima panggilan telepon dari Rina. Clara terkejut dan merasa cemas. "Halo, Rina. Ada apa?" tanya Clara dengan suara bergetar.

Rina terdiam sejenak sebelum menjawab. "Clara, aku tahu bahwa kamu dan Arga memiliki hubungan. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya, tapi aku ingin bicara denganmu. Bisa kita bertemu?"

Clara merasa hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun ia merasa bahwa pertemuan ini penting. "Baiklah, Rina. Kita bisa bertemu besok di kafe dekat kantor."


Keesokan harinya, Clara merasa gugup saat tiba di kafe. Ia melihat Rina sudah duduk di sudut ruangan, wajahnya terlihat tegang namun berusaha tenang. Clara duduk di depan Rina, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi percakapan ini.

"Clara, terima kasih sudah mau bertemu," kata Rina dengan suara lembut. Clara hanya mengangguk, menunggu Rina untuk melanjutkan. "Aku tahu bahwa kamu dan Arga memiliki hubungan spesial. Aku merasa sangat terluka, tapi aku juga ingin memahami situasi ini."

Clara merasa air matanya mulai menggenang. "Rina, aku sangat minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku juga merasa bingung dan terjebak dalam perasaan yang sulit dijelaskan."

Rina menghela napas panjang. "Aku juga merasa sangat tertekan. Aku mencintai Arga, tapi aku tidak tahu apakah hubungan kami bisa diperbaiki setelah semua ini. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya kamu dan Arga inginkan."

Clara merasa hatinya hancur melihat kesedihan Rina. "Rina, aku tidak ingin menghancurkan keluargamu. Jika kamu dan Arga masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan kalian, aku akan mundur."

Mendengar kata-kata itu, Rina terdiam sejenak. "Terima kasih, Clara. Aku tahu ini tidak mudah bagi kita semua. Aku hanya berharap kita bisa menemukan jalan keluar yang terbaik."

Pertemuan itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Clara merasa lega telah berbicara dengan Rina, namun ia juga merasa hampa. Ia tahu bahwa keputusan untuk mundur dari hubungan dengan Arga adalah yang terbaik, meskipun itu berarti ia harus merelakan cintanya.


Waktu berlalu, dan Clara mencoba melanjutkan hidupnya tanpa Arga. Ia fokus pada pekerjaannya dan mencari kegiatan lain yang bisa mengalihkan perhatiannya. Meski terasa berat, Clara merasa sedikit demi sedikit ia mulai menerima kenyataan.

Di sisi lain, Arga dan Rina berusaha memperbaiki hubungan mereka. Arga mencoba untuk lebih jujur dan terbuka kepada Rina, sementara Rina berusaha memberikan kesempatan pada pernikahan mereka. Meski tidak mudah, keduanya berkomitmen untuk mencoba yang terbaik demi kebahagiaan bersama.

Namun, bayangan Clara selalu ada di benak Arga. Ia tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Clara, meskipun ia berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan Rina. Arga tahu bahwa cinta kepada Clara adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan, dan ia harus menemukan cara untuk menghadapinya.

Bab 4: Pergulatan Hati

Hari-hari setelah pertemuan Clara dengan Rina berjalan lambat dan penuh dengan pergulatan batin. Clara merasa sepi dan kehilangan arah tanpa kehadiran Arga dalam hidupnya. Namun, ia tahu bahwa keputusan untuk mundur adalah yang terbaik untuk semua pihak. Meski begitu, kenangan tentang Arga selalu hadir, menghantui pikirannya setiap malam.

Clara berusaha mencari pelarian dalam pekerjaannya. Ia mengambil lebih banyak proyek dan terlibat dalam berbagai kegiatan di kantor. Rekan-rekan kerjanya memperhatikan perubahan ini, namun tidak ada yang berani bertanya. Clara menyimpan semua perasaannya rapat-rapat, berusaha menjalani hari-hari dengan senyuman yang dipaksakan.

Sementara itu, Arga juga merasakan pergulatan batin yang sama. Ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Rina, namun perasaannya terhadap Clara tetap kuat. Setiap kali melihat Rina, Arga merasa bersalah dan tertekan. Ia tahu bahwa Rina berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka, namun ia tidak bisa menghilangkan bayangan Clara dari pikirannya.

Suatu malam, setelah berbicara panjang lebar dengan Rina tentang masa depan mereka, Arga merasa perlu keluar untuk menenangkan pikirannya. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawanya ke tempat-tempat yang biasa ia kunjungi bersama Clara. Tanpa sadar, ia menemukan dirinya di depan apartemen Clara.

Arga terdiam sejenak, merasa ragu. Ia tahu bahwa kehadirannya di sana bisa membuat situasi semakin rumit. Namun, perasaannya kepada Clara begitu kuat sehingga ia tidak bisa menahan diri. Arga akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu apartemen Clara.

Clara yang sedang berbaring di sofa, terkejut mendengar ketukan di pintunya. Ia tidak mengharapkan tamu malam itu. Dengan perasaan campur aduk, Clara membuka pintu dan melihat Arga berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kelelahan.

"Arga, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Clara dengan suara bergetar. Arga hanya menatap Clara dengan mata penuh kesedihan. "Aku tidak bisa hidup tanpamu, Clara. Aku mencoba untuk memperbaiki semuanya dengan Rina, tapi aku selalu memikirkanmu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

Clara merasa air matanya mulai menggenang. Ia tahu bahwa perasaan Arga sama kuatnya dengan perasaannya sendiri. "Arga, kita sudah sepakat untuk memberikan jarak. Ini tidak mudah bagi kita, tapi kita harus menghadapi kenyataan."

Arga menggenggam tangan Clara, merasakan hangatnya sentuhan itu. "Clara, aku mencintaimu. Aku tahu ini sulit, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaanku. Bisakah kita mencoba mencari cara untuk bersama tanpa menyakiti siapa pun?"

Clara terdiam, merasakan pergulatan batin yang sama. Ia tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan, namun ia juga tidak ingin menjadi penyebab kehancuran rumah tangga Arga. Setelah beberapa saat, Clara akhirnya berbicara. "Arga, aku mencintaimu juga. Tapi kita harus menemukan cara yang tepat untuk menghadapi ini. Kita tidak bisa terus bersembunyi dan menyakiti orang lain."

Arga mengangguk, menyadari kebenaran dalam kata-kata Clara. "Baiklah, Clara. Mari kita cari solusi bersama. Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Rina lebih jauh. Kita harus menghadapi ini dengan jujur dan terbuka."


Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan percakapan panjang antara Clara dan Arga. Mereka mencoba mencari solusi terbaik untuk hubungan mereka tanpa menyakiti siapa pun. Clara dan Arga sepakat untuk berbicara dengan Rina secara jujur tentang perasaan mereka. Mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang sangat sulit, namun kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah ini.

Rina menerima kabar tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sangat terluka, namun ia juga menyadari bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan. Rina meminta waktu untuk merenung dan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya dan pernikahannya dengan Arga.

Sementara itu, Clara merasa lega bahwa mereka telah mengambil langkah pertama menuju kejujuran. Meski masih ada banyak hal yang harus diselesaikan, Clara merasa optimis bahwa mereka bisa menemukan jalan keluar yang terbaik. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh dengan tantangan, namun ia siap menghadapi semuanya bersama Arga.


Suatu hari, Rina mengundang Clara dan Arga untuk berbicara di sebuah kafe. Clara merasa cemas, namun ia tahu bahwa pertemuan ini penting untuk menentukan masa depan mereka. Saat mereka tiba di kafe, Rina sudah menunggu dengan wajah tenang namun serius.

"Clara, Arga, terima kasih sudah mau bertemu," kata Rina dengan suara lembut. Clara dan Arga hanya mengangguk, menunggu Rina untuk melanjutkan. "Aku telah merenung selama beberapa waktu. Aku menyadari bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan, dan aku tidak ingin terus hidup dalam kebohongan."

Rina mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Arga, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kamu mencintai Clara. Aku tidak tahu apakah hubungan kita bisa diperbaiki, tapi aku ingin memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk menemukan kebahagiaan."

Mendengar kata-kata itu, Arga merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa Rina telah berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka, namun cinta kepada Clara terlalu kuat untuk diabaikan. "Rina, aku minta maaf telah menyakitimu. Aku tidak pernah bermaksud seperti ini, tapi perasaanku kepada Clara sangat kuat."

Rina mengangguk, menahan air matanya. "Aku mengerti, Arga. Aku hanya berharap kita bisa menemukan jalan yang terbaik untuk semua pihak. Jika itu berarti kita harus berpisah, aku siap menerimanya."

Clara merasa air matanya mulai menggenang. Ia tahu bahwa keputusan ini sangat sulit bagi semua pihak, namun ia juga merasa lega bahwa mereka akhirnya bisa berbicara secara jujur. "Rina, terima kasih atas pengertianmu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku berharap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing."

Bab 5 Ongoing...