Chapter 3
"Menghadapi Kenyataan"
Pagi itu, Viona merasa gelisah. Pikirannya masih dipenuhi oleh pesan Rangga semalam. Ia tahu bahwa percakapan ini akan sangat sulit, tetapi ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk jujur tentang perasaannya. Dengan hati-hati, ia mengatur pertemuan dengan Rangga di sebuah kafe yang tenang di pinggir kota.
Ketika Viona tiba di kafe, ia melihat Rangga sudah duduk di sudut ruangan, menatap keluar jendela. Ia terlihat murung, berbeda dari biasanya. Viona mengambil napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.
"Maaf membuatmu menunggu," kata Viona sambil duduk di hadapan Rangga.
"Tidak masalah," jawab Rangga dengan senyuman tipis. "Terima kasih sudah datang."
Setelah beberapa saat canggung, Rangga akhirnya memulai pembicaraan. "Viona, aku tahu ini sulit, tapi aku merasa ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."
Viona mengangguk, merasa hatinya berdebar kencang. "Aku juga merasakannya, Rangga. Ada sesuatu yang tidak bisa aku abaikan."
Rangga menghela napas panjang. "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi aku merasa ada perasaan yang tumbuh antara kita. Aku tidak bermaksud mengkhianati Dina, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini."
Viona merasakan air mata mulai menggenang di matanya. "Aku juga merasakan hal yang sama, Rangga. Aku berusaha keras untuk menghindarinya, tapi semakin aku mencoba, semakin kuat perasaan itu."
Mereka berdua terdiam, merenungkan situasi yang rumit ini. Viona tahu bahwa mengungkapkan perasaan ini bukanlah solusi, tetapi setidaknya mereka jujur satu sama lain. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Viona dengan suara bergetar.
Rangga menatap Viona dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku tidak tahu, Viona. Aku mencintai Dina, tapi aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri tentang perasaanku padamu. Kita harus menemukan cara untuk menghadapi ini tanpa menyakiti siapa pun."
Viona mengangguk pelan. "Mungkin yang terbaik adalah kita menjaga jarak untuk sementara waktu. Kita perlu waktu untuk berpikir dan mencari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan."
Rangga setuju. "Kita harus kuat, Viona. Demi Dina, demi persahabatanmu dengannya, dan demi hubungan kita yang lebih besar dari sekadar perasaan sementara."
Dengan keputusan itu, mereka berdua sepakat untuk menjaga jarak dan memberi waktu pada diri mereka sendiri. Namun, hati mereka tetap diliputi oleh perasaan yang tak bisa diabaikan.
Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Viona. Ia mencoba mengalihkan perasaannya dengan berbagai aktivitas, tetapi bayangan Rangga selalu muncul di benaknya. Ia merasa bersalah kepada Dina dan merasa terjebak dalam dilema yang menyakitkan.
Suatu hari, saat sedang bekerja di kantornya, Viona menerima pesan dari Dina. "Aku merasa ada yang berubah antara kita, Viona. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku?"
Viona terkejut dan merasa panik. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Dina. Ia tahu bahwa kejujuran adalah hal yang terbaik, tetapi ia takut akan menghancurkan persahabatan mereka.
Dengan hati-hati, Viona memutuskan untuk mengajak Dina bertemu dan berbicara langsung. Mereka bertemu di kafe favorit mereka, tempat yang penuh kenangan indah.
"Dina, ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu," kata Viona dengan suara pelan. "Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku merasa kamu berhak tahu."
Dina menatap Viona dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi, Viona? Kamu bisa jujur padaku."
Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Viona menceritakan semua yang ia rasakan. Ia menceritakan perasaannya terhadap Rangga dan bagaimana ia berusaha keras untuk mengabaikannya. Dina mendengarkan dengan sabar, meskipun air mata juga mengalir di wajahnya.
"Aku tidak pernah bermaksud mengkhianatimu, Dina," kata Viona. "Aku mencintaimu sebagai sahabatku, dan aku sangat menyesal jika ini menyakitimu."
Dina menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri. "Aku menghargai kejujuranmu, Viona. Ini memang menyakitkan, tapi aku lebih menghargai kamu yang jujur padaku daripada berbohong. Kita harus mencari cara untuk melewati ini bersama-sama."
Pertemuan itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Viona merasa lega karena telah jujur, tetapi ia juga merasa bersalah karena telah menyakiti sahabatnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh dengan tantangan, tetapi ia bertekad untuk menghadapi semuanya dengan keberanian dan kejujuran.